Selasa, 01 April 2014

Cerpen Beringin dan Lagu

Beringin dan Lagu

Lagu itu mengalun begitu pelan, merdu. Tekanan-tekanan tutsnya begitu terdengar. Lagu itu menumbuhkan aura yang begitu negatif. Membuat bulu kuduk berdiri sehingga tampak dari permukaan.

Rambutku terterpa oleh angin bergoyang ke arah angin bertiup. Mataku masih memandangi sesosok pria yang tergeletak di jalanan aspal hitam itu. Alvin Jason. Teman sekelasku yang 24 jam yang lalu menanyakan sesuatu hal padaku. Dan kini, apa yang ku lihat? Alvin yang tampan, kini sudah hancur dan tak berbentuk. Pikiranku melambung jauh mengingat pertemuanku dengan Alvin waktu itu.

~ FLASBACK ON ~
Aku terduduk di bawah pohon beringin yang cukup rindang di taman kampus. Membuka buku dan membacanya. Aku merasakan ada seseorang yang mendekat ke arahku. Aku menutup buku dan memperhatikan sekitar.
“Boleh aku duduk di sampingmu?” Tanya seseorang yang mendekat kearahku. Alvin. Aku hanya mengangguk, lalu aku kembali membaca buku yang aku pegang.
“Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” Perkataan itu membuatku mendongak ke arah Alvin.
“Silahkan aku akan menjawab seperti apa yang aku tau.”
“Kalau wanita, suka cara penyampaian cinta yang seperti apa?”
“Menurutku, wanita itu suka kejutan, romantisme. Tapi, itu juga tergantung karakter wanita itu juga sih.”
“Kejutan dan romantisme. Makasih kamu memang benar-benar wanita yang bijaksana. Beruntunglah bagi lelaki yang berhasil mendapatkan hatimu.” Aku hanya tersenyum kecil dan kembali melanjutkan membaca buku. Alvin memandang lurus ke depan. Melamun. Dan dari telingannya terdengar nada-nada yang mengalun pelan.
“Arita kamu denger gak, ada lantunan sebuah lagu?”
Hah?! Lantunan sebuah lagu? Aku tak mendengarnya.
~ FLASHBACK OFF ~

Aku mengembalikkan pikiranku yang melambung jauh dan menghentikan melihat bintang-bintang masa lalu dari otak dan memoriku. Aku masih mendengar isakan tangis di sampingku. Aku mengelus punggung wanita itu. Alivia. Kekasih Alvin.
“Via, sudahlah ikhlaskan Alvin. Mungkin ini jalan terbaik agar dia lebih bahagia.”
“Tapi aku tak rela jika dia harus pergi dengan cara yang seperti ini. Dengan tubuh yang sudah hancur. Apalagi tadi malam dia baru menyatakan cintanya padaku.” Ucap Alivia sembari memandangi cincin pemberian Alvin.



Malam ini terasa sunyi. Hanya suara-suara burung gagak yang terdengar masuk ke dalam telinga. Aku menyibakkan pintu balkon kamarku. Menghirup udara malam. Dingin. Aku membuka laptopku dan menyetel sebuah film pendek “Moriendo” Aku menyeruput sedikit cappucino yang telah aku siapkan tadi. Film itu mulai berputar dan aku mulai menyimaknya.

“Aku adalah kematian. Sepanjang malam, aku begitu lelah memilih siapa yang rela memberikan nafasnya untuk kupintal bersama cahaya dan ku bawa ke angkasa. Jika rambut putihku bertambah setiap hari, maka berkuranglah satu kehidupan karena roh manusia yang aku bawa akan menempel di ubanku” ~ Moriendo ~

Film itu telah selesai berputar. Aku menyandarkan punggungku di kursi balkon. Aku mulai berfikir. Apakah suara burung gagak ini seperti film moriendo tadi? Yang bisa menjelma menjadi tangisan-tangisan roh? Tiba-tiba, angin berdesir menerpa tubuhku. Dan seketika itu aku merasa merinding. Aku menutup laptop dan beranjak dari sana. Menutup pintu balkon dan meringkuk di tempat tidur.

DRRRTTT… DDDRRRTTT…
Aku terbangun dari tidurku karena getaran handphone yang aku letakkan di nightstand. Aku raih handphone itu dan memencet tombol hijau disana.
“Halo?” sapaku dengan suara yang sedikit parau.
“Arita, Ini Mario mau ngabarin sesuatu buat kamu. Alivia kekasih Alm. Alvin meninggal di bawah pohon beringin di taman kampus. Dia tewas dengan tusukan di perut.”
Aku tertegun. Bukannya kemarin Alvin mendengar lagu itu disana? Dan sekarang, Alivia yang mati tertusuk disana? Apa ada hubungannya antara beringin dan lagu itu?
“Arita, kamu masih disana?”
“Eh, iya nanti aku kesana.”
“Baiklah.”

Aku memutuskan panggilan dari Mario. Lalu beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah keluar dengan pakaian serba hitam.

Aku mengegas motor maticku ke arah rumah Alivia. Aku menyusuri jalanan. Melewati jalan Alvin meninggal. Disana masih terpampang jelas pita kuning garis polisi melingkar. Aku menghentikan laju motor maticku mampir ke sebuah pohon beringin kesukaanku yang kini sudah dikelilingi garis polisi juga. Ini memang benar-benar aneh. Aku membalikkan tubuhku dan kembali menaiki motor maticku berjalan ke arah rumah Sivia.

Aku melihat bendera kuning itu terpampang jelas di depan rumah Sivia. Mario melihatku mendekat ke arahnya. Untuk mempersingkat waktu, Mario mendekatiku.
“Via benar meninggal, Yo?” tanyaku. Mario menyeretku duduk di kursi biru di bawah tenda.
“Iya. Katanya malam-malam dia pergi ke pohon beringin tempat mereka menyatakan cintanya. Dan setelah itu, aku tak tau. Karena malam itu begitu sepi dan tak ada saksi yang melihat kejadian Alivia meninggal entah dia bunuh diri atau di bunuh oleh orang lain. Dan kata sahabatnya sebelum ia pergi kesana, Alivia mendengar sebuah lagu yang tak terdengar oleh orang lain.”

Jadi sebenarnya apa yang terjadi dengan lagu dan pohon beringin itu?



Aku memandangi tempat biasa aku membaca buku. Pohon beringin. Aku memaksa masuk untuk menerobos pita kuning yang melingkar di sekitar pohon. Aku duduk di bawah sana. Membuka buku gambar dan menyoret-nyoret kertas itu dengan noda goresan pensil.

Tanpa terasa, langit sudah berubah menjadi oranye. Matahari pun mulai menenggelamkan wujudnya. Aku terkesiap dari keseriusanku menggambar. Karena getaran handphone di saku celanaku. Aku menutup buku gambar itu dan merogoh saku celana untuk mengambil handphone.
“Halo, ada apa telepon, yo?”
“Eummm… kamu bisa ketemu aku di D-Amour Cafe?”
“Kapan?”
“Sekarang bisa?”
“Baiklah, sekalian aku pulang.”
KLIK. Sambungan telepon itu terputus. Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian menaiki motor maticku melaju ke arah D-Amour Cafe.

Sepanjang perjalanan, ada yang aneh dengan telingaku. Aku mendengar sebuah lagu yang amat pelan. Apa ini yang didengar oleh Alivia dan Alvin? Tak beberapa menit kemudian, aku sampai di D-Amour Cafe. Langkah kakiku melangkah memasuki cafe itu. Duduk di kursi no 7. Dan hari ini tanggal 7 bulan 7 tahun 2007.
Aku memanggil seorang waitress untuk memesan secangkir cappucino hangat untuk menghangatkan tubuh. Telinga kananku masih mendengar gemingan lagu yang amat pelan itu. Sedangkan telinga kiriku mendengar nyanyian burung-burung gagak dan jeritan-jeritan yang tak jelas.

“Kau sudah lama menunggu?” Kata-kata yang keluar dari mulut Mario membuat telingaku kembali normal.
“Belum. Baru 5 menit. Apa yang ingin kau bicarakan?” Mario menatapku lekat-lekat. Yang membuatku menunduk tak berani menatapnya. Tangan kekarnya mendongakkan kepalaku.
“Sebenarnya, aku sudah lama menyimpan perasaan lebih kepadamu. Aku takut kau tak mencintaiku. Jadi aku sembunyikan perasaan ini. Tapi kian lama, aku tersiksa dengan perasaanku sendiri. Dan aku kira ini adalah waktu yang tepat. Aku mencintaimu Arita. Cinta sehidup semati”

Aku bingung harus menjawab apa, sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama dengannya, Tapi tadi aku mendengar sebuah lagu, nyanyian burung gagak, dan jeritan-jeritan tak jelas. Apa aku akan mati?

“Arita, aku tak memaksamu menjawab pernyataanku tadi. Yang terpenting aku telah menyatakan perasaanku padamu itu telah sedikit menghilangkan rasa sakit ini.”
“Aku… aku… Aku juga mencintaimu sehidup semati.”
Setelah kata-kata itu terucap dari mulutku. Aku dan dia hanya terdiam tanpa suara. Dan aku? Mengaduk cappucino hangat yang aku pesan.
“Arita, kau dengar sebuah lagu yang amat pelan?”
Jederrr… Hatiku seperti tersambar petir yang disusul oleh halilintar. Apa yang akan terjadi dengan kita berdua?



Malam ini mungkin menjadi malam bersejarah bagi hidupku dan malam yang membuatku was-was. Aku tak jadi pulang dengan motor maticku karena mogok dan aku memutuskan untuk pulang naik motor bersama Mario.

Kenapa hatiku menjadi gelisah? Apa yang akan terjadi? Mataku silau terterpa oleh cahaya yang amat terang dan sangat menganggu pengelihatanku. BRAKK. Aku sudah tak tau apa-apa lagi. Aku merasa tubuhku terpisah dengan buku gambarku. Aku merasa waktu sudah berhenti berdetik. Dan bagaimana dengan Mario? Aku tak mendengar suaranya. Apa dia bernasib sama denganku? Hancur dalam keadaan tragis?

Buku gambar yang aku bawa tadi terbuka lebar dan menampilkan gambar yang aku gambar. Pohon Beringin besar, Not-not balok dan sebuah tulisan yang berbunyi:

“Beringin dan lagu itu akan mencabut nyawa orang yang pernah di bawah pohon itu dan mendengarkan sebuah lagu yang tak bisa terdengar oleh orang lain selain yang akan mati. Dan lagu itu akan membunuh nyawa setiap orang yang mendengar lagu itu sebelum atau sesudah orang itu menyatakan cinta pada orang yang ia cintai dan berjanji sehidup semati”

The End

Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti

Facebook: Diana Kusuma Nuradlani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar