Selasa, 01 April 2014

Cerpen Senandung Indah untuk tiara

Senandung Indah Untuk Tiara

Musik selalu menemani hari-hariku, ia menempati urutan nomor satu dalam hidupku. Menurutku ga ada musik itu pertanda ga ada kehidupan. Sayangnya suaraku tidak begitu merdu, bisa dibilang suaraku itu pas-pasan.
Tapi aku tetep nekad masuk paduan suara di sekolahku, karena ga ada ekskul lain yang aku suka selain paduan suara.

“Sekolah kita akan mengikuti lomba paduan suara tingkat regional, jadi kalian perlu latihan lebih keras dari biasanya, semangat anak-anak. Buatlah sekolah kita semakin berjaya.”
“Siapppp bu.”
Dia adalah ibu marina, guru kesenian dan pelatih paduan suara. suaranya bagus, dia Juga memiliki metode yang baik dalam mengajar, sehingga dia menjadi guru favorit anak-anak SMA 5.
“Tiara.”
“Iyah bu, hadir.”
“Bisa ibu bicara sebentar?”
Dag dig dug der rasanya. Saat bu marina memanggil namaku. rasa penasaran pun menyelimuti ruang batinku.
“Ara, kamu yang jadi dirijennya yah.”
“Kenapa saya bu? Suara saya tidak terlalu bagus.”
“Ini bukan permasalhan suara ara, tapi kamu memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Kamu mampu mengendalikan mereka, cuma kamu yang bisa.”

Hari itu entah kenapa aku merasa bunga-bunga yang layu itu bermekaran kembali. Anai-anai yang beterbangan itu pun seolah merekat kembali. Dan Suara burung itu terdengar sedang bersenandung untukku, senandung kebahagiaan.

“Mas, aku pesen moccachino satu terus sama roti bakar selai stroberry satu.”
Aku memang berbeda dari yang lain, teman-temanku biasanya menghabiskan waktunya untuk kongkow di cafetaria atau rumah makan yang high class. Tapi Aku lebih memilih kongkow di tempat sederhana tapi berkelas.
“Biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu, bawa daku penuhiku. Berilah diriku kasih putih di hatimu.”
Ku perhatikan setiap sudut ruangan itu, mencari sosok yang bersenandung itu. Senandung yang menurutku sangat indah. Seseorang berpakaian lusuh dengan genggaman gitar di tangannya itu menghampiriku yang tatkala itu hanya diam terpesona melihatnya. Dia perlahan memetik satu persatu senar gitar itu, memainkan melody yang begitu memukau. Ku amati orang-orang di sekitarku memberinya uang. Batinku bertanya, sebenernya dia itu siapa.

“Teman-teman, ibu marina berhalangan hadir. Tapi kita tetap latihan seperti biasa, ada tambahan lagu lain. Kita akan memainkan lagu mahadewi – padi sebagai lagu alternatif.”
Latihan hari ini begitu melelahkan, tapi aku merasa bangga pada diriku. Meskipun aku memiliki kekurangan, tapi aku tak pernah berhenti untuk terus berkarya.
“Ara, gurunya diganti jadi kamu saja. Kamu cukup baik menjadi fasilitator kami.” Ucap alisa.
“Hahah ngarang, aku tidak begitu baik. Ibu marina tetap yang terbaik. Aku pulang duluan ya.”
Ada rasa haru ketika mendengar deru pujian itu, terimakasih teman-teman, terimakasih ibu marina ini semua karena kalian. Kekuatan ini terlahir karena musik, karena musik adalah alasanku untuk bangkit.

Sore itu seperti biasa, aku selalu memesan tempat duduk di meja no 14 untuk mengamatinya diam-diam. Ini sudah episode ke 13 aku mengamati musisi jalanan itu. Hari-hari sebelumnya aku selalu mencuri gambarnya diam-diam melalui ponsel milikku. Tapi hari ini berbeda.
“Kamu mau merekam saya?”
“I… iyaaa ma… Ma.. Af ya.”
“Heheheh saya bukan artis, jadi untuk apa kamu mengambil gambar saya yang lusuh ini?”
“Ini bukan masalah status kamu, tapi ini masalah cita rasa. Kamu telah menghadirkan rasa melalui senandung indahmu. Senandung yang selalu kurindukan setiap detiknya.”
entah kenapa detik ini aku merasa angin membelai rambutku perlahan. Dia membawaku terbang menembus awan. Awan-awan pun terlihat berarak mengikutiku. Indah sangat indah perasaan ini. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.
“Biarkan orang lain yang merekamnya.”
“Maksudnya?”
“Iyaaah, kamu bernyanyi bersamaku. Izinkan aku mengambil gambarmu juga untuk kenang-kenangan.”
Ya Tuhan, dia begitu sopan. Romantis dan misterius. Aku bahagia karena hari ini aku bisa menyapanya, bernyanyi bersama, dan yang paling penting adalah dia telah mengenalku.

Perlahan kuambil ponselku yang berdering. Kulihat ada 12 panggilan tak terjawab dari ibu marina. Rasa cemas menyelimuti pikiranku, akupun langsung menghubunginya.
“Hallo assalamualaikumm, ibu maaf tadi saya masih tidur. Ada apa ya bu?”
Praaakkk. Hatiku rasanya pecah ketika mendengar pernyataan dari bu marina. Aku bingung harus bagaimana untuk menyampaikan pesan ini kepada mereka, mereka yang masih membutuhkan sentuhannya. Akupun langsung bergegas pergi menuju sekolah. Hanya kuambil sekerat roti yang sudah mamah persiapkan di meja makann.
“Mamah, ara pergi dulu ya.”
“Masih pagi nak, kamu kan masuk jam 8.”
“Iyaa ma, tapi ada hal yang penting. Ara berangkat maah. Assalamualaikumm.”

Aku melajukan motorku dengan kecepatan diluar jangkauan. 10 menit kemudian aku sudah sampai di sekolah. Kulangkahkan kakiku dengan begitu cepat menuju suatu aula yang penuh dengan sentuhan musik. Kulihat disana sudah ada beberapa orang yang menunggu kedatanganku, menunggu penjelasan dariku.
“Teman-teman, rasa maaf ibu marina sampaikan kepada kita. Karena beliau tidak dapat membimbing kita lagi. Beliau mutasi kerja ke luar kota. tapi jangan khawatir, kita akan tetap mengikuti kompetisi itu, dengan atau tanpanya. Beliau memberi kepercayaan kepadaku untuk menggantikan posisinya. Semoga kalian berkenan.”
Ruangan yang tadinya nampak gemuruh itu terdengar sepi tak bersuara.
“Bagaimana mungkin kamu bisa mengajar kami? Sementara kamu sendiri tidak bisa mengajar dirimu sendiri untuk bernyanyi dengan baik.”
Gelak tawa itu terdengar sangat jelas dan begitu menyayat mengiri-iris hati ini.
“Diam semua, tiara mungkin tak sehebat bu marina. Tapi dia mempedulikan kita, dia mempedulikan sekolah kita. Itu artinya dia lebih dari hebat.”
Alisa, sahabatku yang selalu menemaniku. Dan detik ini dia menjadi penguatku, penguat di saat diri ini terlihat lapuk.
“Terimakasih alisa, trimakasih teman-teman yang masih percaya padaku. Bagi yang tidak ingin melanjutkan kompetisi ini di mohon dengan hormat keluar dari ruangan ini.”
Susana hening menyelimuti ruangan itu. Batin mereka seolah bergejolak. Tak menyangka Tiara anindya akan setegas itu.
“Kenapa tak ada seorangpun yang keluar? Kalian masih ingin melanjutkan ini semua tanpa ibu marina?”
“Iyaa tiara, kami tetap bertahan demi sekolah ini. semangat. kita pasti bisa.”
Lagi dan lagi aku merasa begitu bangga pada diri ini. Gejolak ini masih bisa kuatasi dengan baik. Sempurna.

“Maaf de, untuk sementara tempat ini sedang dalam perbaikan.”
“Perbaikan? Untuk berapa lama?”
“Selama sebulan.”
astaga. Bagaimana bisa zona kongkowku di tutup selama sebulan. Berarti aku ga akan bertemu dengan musisi jalanan itu.
“Makasih pak.”
Akupun berjalan dengan langkah tanpa arti. Rasanya saat itu langit terasa begitu hitam pekat, seolah cahaya itu pudar bersamanya. Kucoba membuka rekaman gambar tentangnya, lagi dan lagi aku sangat merindukannya, merindukan senandung itu. Tapi kini yang tersisa hanyalah debu-debu memori.

“Ara, kamu lagi apa?”
“Ini, lagi liat video lis.”
“Siapa dia?”
“Dia musisi jalanan yang aku temui di zona kongkowku, tapi sekarang aku ga bisa ketemu dia lagi lis. Tempat itu ditutup karena ada perbaikan.”
“Menarik, suaranya sangat catchy.”
“Iyah, aku jatuh cinta pada suaranya. Aku ingin mendengar suara itu di setiap detiknya.”
Entah kenapa rindu ini melanda begitu hebat. Aku jatuh cinta pada suaranya.
“Teman-teman besok kita tampil, persiapkan mental kalian sebaik mungkin dan tentunya kesehatan kalian harus fit. Okehhh mari bersulang untuk keberhasilan kita.”

“Pemenang kompetisi paduan suara tingkat regional tahun ini adalah SMa pelita 5.”
Detik itu, aku merasa begitu bahagia. Kupu-kupu yang indah itu terlihat beterbangan di sekelilingku, iaa seolah mengerti bahwa hatiku sedang menari-nari.
“Ara, kita berhasil. Ini luar biasa.” Ucap alisa
“Kamu hebat ara, maafin aku yang udah ngerendahin kamu.” ucap kiki
“Iyah teman-teman. Ini semua bukan karena aku. Ini semua karena kita. Hari ini kita telah mengukir sejarah teman-teman. This is our masterpiece for our school.”
“Ara.”
Suara lembut itu rasanya aku begitu mengenalnya.
“Ibu marina.”
“Iyaa sayang, ibu bangga padamu. Kamu telah berhasil nak. Ibu tau kamu pasti bisa.”
“Terimakasih bu, ini semua karenamu.”
Aku sangat bahagia, karena ibu marina menyempatkan hadir di acara kompetisi ini. Dan terdengar sebuah senandung indah, rasanya aku sering mendengarnya.
“Biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu, bawa daku penuhiku berilah diriku kasih putih di hatimu.”
Akhirnya musisi jalanan itu kembali. Hari ini bukan sekedar indah, tapi teramat berarti. Trimakasih Tuhan atas anugerah ini.
“Dari mana kamu tau aku disini?”
“aku yang memberitahunya. Saat aku makann siang aku bertemu dengannya. Dan aku langsung memberitahu tentangmu.” Ucap alisa
“Iyah tiara, aku juga merindukanmu. Aku mencintaimu ara.”
“Iyah, aku juga mencintaimu musisi jalanan.”
“Sssttt… panggil aku rasya. Aku bukan musisi jalanan lagi. Aku sudah menjadi penyanyi solo sebentar lagi albumku keluar, lagu yang kupersembahkan untukmu tiara.”

Cerpen Karangan: Rienz Gladies
Facebook: Ririn Gladies / Rienz Meyrizka Gladies
Ririn rianingsih

Iain syekh nurjati cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar