Selasa, 01 April 2014

Cerpen Seberkas Cahaya Di Tanah Rantau

Seberkas Cahaya Di Tanah Rantau

Entah kenapa wajahnya selalu saja murung. Sapaan demi sapaan yang datang bertubi-tubi ditepisnya dengan kalimat acuh tak bermakna. Sehingga menyisakan ribuan tanya di hati sahabat-sahabatnya.
“Antum kenapa, akhi ?” tanya si Madura dengan wajah prihatin.
“Ghuf, biarkan dia menyendiri dulu, mungkin sahabat baikku ini masih kangen… ” Sela si Gendut, Agus.
“Wah.. wah.. wah.. lagi ada yang kangen nih..” imbuh si Madura, Ghufron.

Sudah dua hari pemuda itu selalu murung. Sangat sulit ditebak. Sedih karena pacar, gak mungkin. Karena dia sangat teguh pada prinsip. Tidak ada kata pacaran dalam kamus hidupnya. Semenjak dia bertemu dengan seorang murabbi , Ustadz Suparman. Meskipun dia pernah menyelami dunia itu. Tapi kini tidak ada lagi yang namanya pacaran sebelum nikah. Kata pacaran memang benar-benar lenyap dari pelataran hatinya. Bagai embun pagi ditelan mentari. Hilang tanpa jejak. Tapi siapa sangka kalau embun itu datang lagi. Menyapa nuraninya yang tandus, kering, hampa, tak ada satu pohon pun yang tumbuh di sana. Tak ada setetes air pun yang membasahinya. Sehingga hatinya bagaikan kuda liar yang diliputi dahaga. Ataukah embun itu telah lenyap untuk selamanya. Bukan karena dimamah mentari, tapi melebur bersama putih dan dinginnya salju. Sehingga embun itu akan tersesat dan bahkan tidak akan kembali ke relung jiwanya.

Sedih karena kehilangan, bisa jadi. Astaghfirullah… Ini bukan kedalaman lautan. Sehingga kita bisa menebaknya. Ini persoalan hati. Kedalaman hati. setiap kata yang tidak dibarengi hati laksana memasukkan air ke dalam gelas yang berlubang. Itulah hati. Cermin baik-buruknya tutur dan tingkah manusia. Namun sangat sulit ditebak. Apalagi Islam melarang su’uzhon .
“Akh Randa… antum kenapa? Antum sakit?” Ghufron kini mulai khawatir.
“Tidak, akh. Ana akan curhat ke antum asalkan dijaga rahasianya, Karena hanya antum teman ana yang paling peduli.”
“Ana sebagai saudara antum pasti akan menjaga rahasia saudaranya.”
“Sebenarnya ana pusing akh, ana kayaknya gak bisa ngejar mata kuliah yang ketinggalan. Ana gak bisa. Belum lagi setoran hafalan. Ana sangat malu dengan teman-teman. Ana pengen balik ke Gorontalo akh. ”
“Hmm… begini aja akh. Antum ambil kertas. Kemudian tuliskan semua kendala antum”
“Terus setelah itu akh?” Randa kini mulai menampakkan bias harapan di wajahnya.
“Antum lipat sampai membentuk burung kertas. Kemudian antum terbangkan”
“Ghuf, ana akan laksanakan saran antum. Asalkan antum bantu memahamkan ana.”
“Okay.. shippp.”

Mendung hitam kini mulai pudar ketika sapaan mentari menyilaukannya. Terlebih sang hawa menghempaskannya ke negeri seberang. Dan butiran hujan pun berlalu tanpa permisi. Menjadikan bumi menangis di tengah senyuman sang mentari senja. Randa kini mulai tersenyum. Harapan untuk sukses menyatu kembali dengan desah nafasnya. Langkah tatihnya kini mulai berirama. Itu semua karena saudara yang shaleh.

Persaudaraan itu bagaikan satu tubuh. Jika anggota tubuh yang lain sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit. Jika mata saja yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan panas dan demam. Demikian juga yang dialami Randa dan Ghufron. Saat Randa lagi bermasalah, Ghufron datang dengan hati yang sama. Merasakan apa yang dirasakan Randa. Begitulah ukhuwwah yang dibangun karena lillahi ta’ala. Semua terasa nikmat. Begitu juga dengan Randa. Dia tidak menanyakan lagi perihal saran temannya yang menyuruhnya untuk menuliskan seluruh masalahnya di atas kertas. Karena Randa pernah dididik untuk tsiqoh kepada sesama saudara. Percaya dengan kemampuan teman. Dia yakin bahwa temannya pasti membawa sejuta titik terang untuknya. Sehingga tidak nampak sedikit pun keraguan di raut wajahnya. Itulah ukhuwwah.

“Agus kemana, akh?” tanya Randa dengan sedikit mendongakkan kepalanya ke luar jendela.
“Tadi menuju ke lantai tiga. Mungkin udah bersiap-siap ke maktabah ”.
Sudah menjadi kebiasaan Randa untuk menyempatkan diri ke maktabah. Membaca buku lalu menuliskan kembali hasil bacaannya ke atas kertas kecil dan menempelnya di dinding yang berdekatan dengan tempat tidurnya. Namun sore itu Randa belum berencana untuk ke maktabah. Karena sebentar lagi dia akan berjalan mengelilingi Kebayoran Lama bersama temannya, Ghufron.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat lewat enam belas menit. Udara Jakarta Selatan di sore itu terasa sangat menusuk. Langit menampakkan warna birunya. Pertanda bahwa cuacanya sangat cerah. Sementara itu, para Mahasiswa sedang sibuk mempersiapkan menu buka puasa. Karena hari itu adalah hari kamis. Sudah menjadi aturan di kampus untuk berpuasa senin-kamis. Dan bagi yang tidak berpuasa harus bersabar untuk tidak makan. Karena makanan akan dimasak setelah sholat ashar dan baru dimakan setelah sholat maghrib. Maka mau tidak mau semuanya harus berpuasa.

Sore itu pun Randa berpuasa. Namun tidak bersama para mahasiswa lainnya yang mempersiapkan makanan untuk ifthor bareng. Karena dia masih menikmati udara dingin bersama temannya. Keceriaan wajahnya begitu nampak ketika berpapasan dengan teman-teman ikhwah lainnya. Yang kebetulan sedang mencari-cari penjual gorengan.
“Assalamu alaikum, kaifa halukuma ?” sapa Suhaimy ketika bertemu Randa dan Ghufron.
“Wa alaikum salam warahmatullah.. alhamdulillah bi khoir .. o iya.. antum bertiga mau kemana? ”
“Kita lagi cari gorengan, antum liat gorengan nggak?.”
“O iya.. ada. Jalan aja terus sebelum pasar ada Indomaret. Pas di depan Indomaret ada penjual gorengan.”
“Antum mau nitip nggak?”
“Iya, Surya. Syukron ya atas tawarannya. Pisang goreng Lima Ribu.”
“Antum Ghufron, mau pesan apa”?
“Tahu goreng sama tempe sepuluh ribu. Cepat ya akh, sedikit lagi maghrib. Teman-teman pasti sementara dzikir al ma’tsurat .”
“Iya, akh. Assalamu alaikum”
“wa alaikum salam warahmatullah”

Ternyata dugaan Ghufron memang benar. Seluruh mahasiswa Nuaimy sudah berada di meja makan. Mereka menanti azan maghrib untuk berbuka puasa. Dan sudah menjadi kebiasaan juga mereka dzikir al matsurat sebelum berbuka. Tapi hari itu Randa dan Ghufron benar-benar terlambat. Mereka sangat was-was ketika mulai memasuki gerbang kampus. Karena biasanya kalau bukan Syekh Fuad pasti Doktor Taufiq, yang menunggu di depan. Mengecek mahasiswa yang terlambat untuk membaca dzikir al matsurat. Semua aturan di kampus sudah menjadi keharusaan bagi seluruh mahasiswa. Itu semua demi menumbuhkan kebiasaan beramal. Randa adalah salah seorang di antara para mahasiswa yang sangat kagum dengan sistem yang ada di kampus. Dari pengaturan jam makan sampai jadwal tidur. Semuanya diatur. Bahkan dosen pengajar lulusan al Azhar di Mesir mengakui bahwa kampus Nuaimy merupakan kampus yang memiliki sistem yang mengedepankan nilai-nilai ruhiah , jasadiah dan fikriah . Dimana jiwa para mahasiswa ditempa dengan tilawah Al Quran dan Sholat Tahajud. Sedangkan jasad dan pemikiran ditempa dengan olahraga dan menghafal Quran dan Hadits-Hadits.

Jantungnya semakin kencang. Seakan irama musik yang bunyinya tidak karuan. Karena kekhawatiran di dalam dadanya yang seolah ingin keluar menampakkan diri menghirup udara sore itu. Begitulah Randa setiap kali bertemu dengan para dosen terutama Syaikh Fuad yang berasal dari Yaman. Bukan karena mereka itu galak. Bukan pula karena mereka itu pemarah. Tapi karena bahasa Arablah yang menyebabkan jantungnya seakan mau meledak ketika bertemu mereka. Randa hanya memiliki kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan. Sehingga sangat sulit baginya untuk beradabtasi dengan mahasiswa Nuaimy. Karena rata-rata dari mereka lulusan pesantren ternama di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Sangat sulit untuk disaingi.

“Min aina antum ya akhi ..?” terdengar suara dari arah belakang ketika Randa mulai memasuki pelataran kampus. Suara itu terdengar lembut tapi berwibawa. Sehingga jantung Randa seolah akan copot mengingat dirinya terlambat. Ghufron tidak ada di sisinya. Karena dia sudah lebih dulu ke dapur ketika Randa masih mengambil air wudhu di depan kampus.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Pasti Doktor Taufiq yang di belakangku” Gumam Randa sambil melirik ke belakang. Baginya bertemu dengan dosen adalah musibah. Padahal tidak ada satu dosen pun yang killer. Semuanya sangat bersahabat. Bahkan setiap akhir semester ada pertandingan futsal melawan dosen. Itu menunjukkan bahwa para dosen sangat akrab dengan mahasiswa. Mereka tidak mau mempersulit mahasiswa. Namun bagi Randa, sebaik apapun seorang dosen kalau bercakapnya pakai bahasa Arab, maka itu adalah musibah baginya.
“Min aina antum ya akhi” pertanyaan itu terulang lagi. Namun Doktor hari itu sangat bersahabat. Beliau bertanya sambil memegang pundak Randa.
“taj.. taj.. tajaawaltu ya ustadz. Ana.. ana.. tajaawaltu ma’a Ghufron ” dengan terbata-bata Randa menjawab pertanyaan sang ustadz. Dia sangat gugup setiap kali bertemu dengan dosen. Karena dia pernah mendapat sanksi ketika dia sedang bermain badminton. Memang saat itu bertepatan dengan hari libur. Randa mengira bahwa berbicara dengan bahasa Arab itu hanya berlaku di hari kuliah. Ternyata pada saat dia menghitung point dengan menggunakan bahasa Indonesia malah mendapat hukuman push up sebanyak lima kali. Memang sangat ringan hukumannya. Hanya saja kesalahan yang diperbuat sangat sulit untuk ditebus. Karena semua ada memorinya.
“Thoyyib, asri’ ila al mathbakh ” akhirnya musibah itupun berlalu. Karena Doktor hanya menyuruhnya untuk segera ke dapur bergabung dengan teman-teman.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar… ” Alunan suara adzan telah berkumandang. Menggema di setiap sudut kota Jakarta Selatan. Semua orang menyambut seruan ilahi dengan linangan air mata haru. Sebagai bentuk syukur atas helaan nafas yang dikaruniakan Allah kepada seluruh insan di bumi. Butiran pasir bertasbih mensucikan Tuhannya ketika semilir angin berhembus menerbangkannya ke setiap sudut bumi yang kering dan tandus, tak nampak satupun hijaunya pohon di sana. Sehingga pasir-pasir itu dengan riang gembira menikmati masa bermainnya. Begitu pula anak-anak Nuaimy. Mereka begitu lahapnya menikmati rezeki yang diberikan Allah di sore itu. Mereka sangat bergembira saat lapar dan dahaga berlalu tanpa kata. Karena kampung tengah si pemicu masalah telah mudah ditenangkan. Dan juga karena keyakinan mereka akan janji Sang Pencipta, Allah SWT. Bahwa bagi yang berpuasa akan menerima dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka dan ketika bertemu Tuhannya. Mereka akan gembira melihat balasan pahala dari Sang Maha Pemberi.

Randa juga tidak kalah gembiranya. Gembira karena berbuka dan karena terbebas dari hukuman keterlambatannya. Dia merasa seolah dunia berpihak padanya. Dia sangat lahap memakan pisang goreng yang tadi dititipkannya kepada Suryanto. Pisang goreng memang makanan favoritnya. Setiap dapat kiriman uang dari Gorontalo, pasti dia langsung menuju mesjid Al Furqon. Karena di depan mesjid itulah pisang goreng berada.
“Ke mushalla, yuk”
“Ayo…, eh, Aceng.. antum kalau ada waktu kita belajar sebentar ya..”
“Belajar apaan…?”
“Qowaid Fiqhiyah . Kan besok Duktur ada jam. Lagian ana belum paham-paham amat.”
“Thoyyib, akh. Sanadrusu ma’an ”
Dengan berapi-api Aceng menyampaikan ceramah agama. Kebetulan dia mendapat giliran untuk menyampaikan ceramah ba’da maghrib. Dia memang dikenal sebagai orang yang selalu semangat. Seolah kemalasan adalah musuh bebuyutannya. Selain semangat, dia juga memiliki suara yang merdu. Sehingga dia menjadi salah satu team nasyid Ma’had ‘Ali An-Nu’aimy. NUVO, Nu’aimy Voice. Dia menekankan dalam ceramahnya tentang sejarah Rasulullah dalam mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Yang mana persaudaraan itu mengedepankan nilai itsar . Ketika itu Abdurrahman bin ‘Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Dengan nada penuh yakin Sa’ad bin Rabi menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih salah seorang istrinya yang cantik, agar dia bisa menikahinya setelah diceraikan Sa’ad. Begitulah persaudaraan dalam Islam. Berkorban dan mengutamakan orang lain adalah tuntutannya. Bahkan menjadi bumbu penyedap rasa demi berlangsungnya hubungan sesama. Itulah salah satu isi ceramah yang disampaikan Aceng Anwar Nur Halim, yang akrab dengan panggilan Aceng.

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Perlahan tapi pasti. Randa sudah mulai paham tentang pelajaran yang diberikan. Dengan bantuan teman-temannya dia mulai bisa mengejar pelajaran yang ketinggalan. Kemampuan Bahasa Arabnya juga sedikit-sedikit mulai membaik meskipun belum terlalu lancar. Semua berkat bantuan Ghufron dan Aceng. Dan tentunya atas petunjuk Allah Sang Maha Cahaya. Dia kini mulai bisa menguasai kampus. Tidak takut lagi bertemu dengan para dosen. Bahasa Arab yang dianggapnya sebagai musibah berubah menjadi rahmat.
“Ran, dua pekan lagi kita imtihan ”
“Iya, Man. Semoga aja kita nggak remedi pada ujian semester kali ini.”
“Insya Allah.. untuk semester akhir ini kita lebih meningkatkan cara belajar kita.”
“Kita cari dulu akh Rispan sama Ghufron”

Randa dan Kiman sangatlah antusias untuk mendapatkan nilai yang bagus di semester akhir ini. Sehingga salah satu usaha mereka adalah untuk mencari teman-teman yang memiliki pemahaman cepat mengenai mata kuliah mereka. Ghufron dan Rispan adalah solusinya. Mereka termasuk dua mahasiswa yang sangat menonjol. Sehingga Randa dan Kiman lebih memilih untuk belajar dari mereka berdua. Ada juga mahasiswa yang sangat pintar dan cerdas. Dia jarang belajar ketika mau menghadapi ujian semester. Bahkan sering tidak terlihat batang hidungnya ketika agenda-agenda masaiyah . Tapi anehnya saat ujian dia yang lebih dulu selesai. Bahkan dia selalu memperoleh nilai yang tertinggi dari seluruh mahasiswa. Dia sangat terkenal dengan kepintarannya. Begitulah luar biasanya Toto Taufiq Hidayat yang dikenal dengan panggilan akh Toto. Namun Randa dan Kiman lebih memilih Ghufron dan Rispan sebagai partner belajar. Karena Toto sangat sibuk dengan urusan umat. Selain mahasiswa, dia juga seorang aktivis dakwah di masyarakat.
“Imam, afwan mengganggu antum sebentar.”
“Ya.. ora opo-opo akh, mau kemane antum berdua, Mr. Wolo? Kayak mau perang aja”
“Antum liat Rispan ma Ghufron gak?”
“Waduh, ada masalah opo to? Mau main pukul-pukulan? Hahaha.. ”
“Imam… Imam… antum ini. Kita lagi serius akhy.. pada kemana mereka?”
“Kayaknya akh Ghufron tadi menuju mesjid Al Ikhlas. Ada pengajian di sana. Kalau Rispan lagi ke pasar Senen, katanya mau beli buku Siroh Nabawiyah”
“Thoyyib, syukron ya, Mam atas infonya.”
“Sama-sama Mr. Wolo”

Randa dan Kiman sangat dikenal dengan bahasa Gorontalonya. Seluruh mahasiswa Nuaimy selalu meniru-niru mereka kalau berbicara. Bahkan ada yang menilai bahasa Gorontalo itu sama dengan bahasa Korea karena sulit untuk dipahami. Julukan “Mr. Wolo” sudah mendarah daging bagi mereka, karena setiap kali teman-temannya berbicara pasti langsung dipotong dengan bahasa Gorontalo. Sehingga ributlah mereka karena tertawa.

Pernah suatu hari sejumlah mahasiswa sedang berkumpul membicarakan hal-hal yang lucu tentang Randa. Bukan karena dia komedian, tapi karena bahasa Gorontalonya. Bagi mahasiswa Nuaimy, bahasa Gorontalo adalah yang paling lucu mengalahkan film Dono Kasino Indro.
“Itu bahasa dari mana..?” Si Rozak Palembang memulai pembicaraan.
“Tidak tau. Bahasanya tidak ada di kamus hahaha…” Rispan terdengar asyik dengan nada suaranya dari Medan.
“Wow, ada si Poltak dari Medan. Rispan temannya si Poltak si Raja Minyak dari Medan” Sholah juga tidak mau diam.
“Wolo” tiba-tiba Randa datang dan langsung masuk ke dalam kelas.
“Hahaha.. hahaha.. hahaha” semuanya langsung tertawa.
“Mr. Wolo hahaha…”

Begitulah mereka kalau kedatangan Randa, pasti terhibur. Randa juga senang bisa membuat otak mereka fresh. Begitulah suasana mereka di kampus itu. Mereka tertawa bukan karena menghina bahasanya, tapi karena memang cara Randa berbicara yang membuat mereka bagai menonton film Dono. Namun di saat-saat serius mereka tidak akan tertawa. Karena bercanda selalu ada waktu dan tempatnya.

Randa kelihatan sangat serius tatkala Ghufron menjelaskan materi Qowaid Fiqhiyah. Karena sangat sulit baginya untuk memahami penerapan kaidah fiqh tersebut. Sudah cukup baginya merasa diri terhina manakala tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Duktur Taufiq. Rasanya bagai memikul sebuah gunung tatkala beban moril menghimpit jiwanya. Namun tidak ada yang tidak mungkin. Semua bisa dilalui dengan mudah kalau kita serius dan fokus. Begitu juga dengan Randa, semua himpitan yang dirasakannya mudah diatasinya karena fokus dan serius. Dan semua itu terbukti dalam hasil ujian, dia mendapat nilai 87 untuk mata kuliah Qowaid Fiqhiyah. Dan untuk semester akhir ini dia mendapat nilai yang memuaskan, itu semua karena berkat persaudaraan diantara mereka. Yang paham tugasnya memahamkan kepada yang belum paham, itulah kata-kata yang sering diulang-ulang oleh para murobbi di setiap halaqoh . Semua itu dengan tujuan agar tidak ada yang merasa teraniaya dengan mata kuliah.

Pagi itu sang mentari menampakkan senyumnya. Angin pun masih setia menghembuskan desahan nafasnya, menggerakkan dedaunan yang tumbuh di sekitar kampus. Namun kicauan burung tak terdengar di sana. Randa yang terbiasa hidup di pegunungan tentunya merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Karena burung adalah sahabatnya yang selalu setia menemaninya semasa dia masih di Gorontalo. Bahkan dari burung itulah dia mendapatkan banyak hikmah. Burung adalah makhluk yang kecil namun hidupnya bebas tanpa beban. Ia keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian terbang di angkasa luas untuk mencari makanan, sehingga ketika sorenya pulang ke tempat istirahatnya dalam keadaan kenyang. Betapa agungnya Allah, menciptakan makhluk dan mengatur rezekinya. Tapi terkadang manusia tidak menyadari akan keagungan ini. Yang ada dalam otaknya hanyalah sebuah bangkai kecil yang tidak berarti. Ya. Hanya bangkai yang menghiasi jiwa mereka. Bangkai dunia yang pastinya akan hancur ini. Bangkai harta, bangkai jabatan, bangkai popularitas, dan bangkai-bangkai kenikmatan lainnya. Sehingga sangat nampak sifat mereka bagai hewan ternak, bahkan lebih rendah dari itu. Karena seekor anjing tidak akan lari mengejar berlian, hanya tulang yang berusaha untuk dikejarnya.

Semakin mendalam rasa rindunya akan kampung halaman. Kepada sang Ibu yang nun jauh di sana, keluarga, saudara seperjuangan dan mereka yang selalu memberi semangat di kala langkahnya mulai tertatih. Semua yang dalam memorinya selalu terbayang sehingga menambah rindunya akan kampung halaman, Gorontalo. Namun rasa itu sebentar lagi akan terobati, semua sejarah perjuangannya akan kembali. Karena sebentar lagi Randa akan pulang ke kampung halaman untuk berkhidmah di Gorontalo. Tentunya perpisahan pasti tidak akan bisa dielakkan lagi, perpisahan dengan saudara-saudaranya di kampus sebentar lagi akan jadi kenyataan yang memilukan. Semua akan berangkat ke tempat pengabdiannya masing-masing.
“Ghuf, mungkin malam ini adalah malam terakhir kita di kampus ini.”
“Yaah,, mau gimana lagi akh, setiap pertemuan pasti ada perpisahan.”
“Sebentar kita ke aula yaa, kita buat acara perpisahan dengan teman-teman semua”

Malam itu sangat hening, seolah tak ada orang di ruangan itu. Semuanya membisu. Tiba-tiba saja terdengar suara isakan lembut dari sudut ruangan, sehingga teman-teman ikhwah yang ada di aula terbawa arus, dan tidak kuasa menahan butiran-butiran air dingin dari kelopak matanya. Akh Imam, telah memancing airmata sahabatnya, tangisannya karena perpisahan itu. Randa yang duduk di bangku paling belakang tidak mampu membendung desakan airmatanya. Ruangan aula yang tadinya hening kini dipenuhi suara isakan.
“Ran, kita dipertemukan Allah di jalan dakwah ini, maka di jalan ini jua kita harus berpisah” Ghufron memulai pembicaraan.
“Iya, Ghuf. Semoga mimbar cahaya yang dijanjikan Allah akan kita dapatkan di Hari Kiamat kelak. Dan naungan-Nya di Padang Masyar semoga untuk kita semua ”
“Dan ini bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjumpaan kita dengan para prajurit baru”
“Selamat berjuang sahabatku, istiqomah yaa”
“Insya Allah”

Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya islam
Jauh di negeri seberang

Selamat tinggal sahabatku
Ikhlaskanlah diriku
Iringkanlah doa restumu
Allah bersama slalu
Kuberjanji dalam hati
Untuk segera kembali
Menjayakan negeri ini
Dengan ridho Ilahi

Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita-cita
Raih gelar syuhada
(izzatul islam)

Tekad mereka semakin bulat, bahwa cahaya Islam harus bersinar. Panji-panjinya harus terkibar di seluruh penjuru tanah air. Lantunan azan harus terdengar di seluruh menara-menara mesjid. Dan Al Quran harus jadi pedoman dan undang-undang kehidupan di seluruh dunia. Semua itu harus di mulai dari diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara, sampai semua negara membiaskan cahaya Allah di mata air kehidupan. Sehingga di negara manapun dilantungkan kalimat Allah, di sanalah seberkas ukhuwwah terpatri dalam jiwanya.
Nasyid izzatul islam telah menjadi kenangan bagi mereka, mendorong semangat mereka, menjadi nasyid perpisahan mereka. Randa telah berjanji untuk tidak melupakan nasyid itu.
Iringkanlah doa restumu
Allah bersama slalu….

Duka telah lenyap dibawa tidur, berganti dengan riang disambut mentari pagi. Pertanda bahwa Randa akan take off tiga jam lagi. Pesawat sriwijaya akan mengantarkannya ke bumi yang dirindukan, tanah lahirnya, Gorontalo. Dia bertekad akan mengabdi dengan sebaik mungkin untuk masyarakatnya, itu adalah tanggung jawabnya, menyampaikan kalimat-kalimat hikmah kepada mereka. Menerapkan nilai kebersamaan. Membawa saudara-saudaranya untuk bersatu atas nama ukhuwwah. Tsiqoh atau percaya kepada saudara adalah salah satu nilai yang tidak bisa ditanggalkannya. Shu’uzhon adalah musuh bebuyutannya. Namun akankah dia mampu ketika sudah berkecimpun dengan saudaranya seiman. Ataukah ada daya dalam dirinya untuk mempertahankan nilai ukhuwwah. Karena semua akan tampak manakala dia bersama saudaranya, antara berdaya dan terpedaya.
Nilai ukhuwwah pun diuji Allah ketika Randa membaca sebuah pesan singkat dari saudaranya, Ghufron yang mendapat tugas di Makassar.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un
Telah meninggal dunia saudara kita tercinta
Toto Taufiq Hidayat
Meninggal karena kecelakaan
Ketika dalam perjalanan pulang ke rumahnya
Semoga Syahid
Amiiiin…

Membaca sms itu Randa tak mampu membendung airmatanya. Dia mulai teringat kenangan mereka. Teringat janji tekad yang mereka ikrarkan dua bulan lalu ketika masih di kampus.
“Ya Allah terimalah semua kebaikannya
Hapuslah segala khilafnya
Anugerahilah untuknya mimbar cahaya atas cintanya kepada kami karena-Mu
Syahidkan dia Ya Allah
Masukkan dia ke Jannah-Mu,
Sehingga dia bersanding dengan para bidadari
Yang Engkau janjikan untuk para ahli surga
Amiiin…”

Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita-cita
Raih gelar syuhada
(Izzatul Islam)

Randa kini telah aktif di sebuah organisasi. Dia sangat berharap agar disabarkan Allah bersama mereka. Dan keyakinannya akan janji Allah sangat menghujam sampai ke akar jiwanya, sehingga fitnah apapun yang dituduhkan kepadanya selalu dihadapinya dengan sabar. Meskipun terkadang dia merasa jengkel, tapi kejengkelan itu hanya semata-mata karena refleksi hatinya pada sebuah ketidakadilan dalam menilai sebuah berita yang jauh dari kebenarannya. Dia juga telah berkecimpun dengan dunia menulis bersama Jala Kata, Gorontalo.

S E L E S A I

Cerpen Karangan: Abdurrazzaq Hulalata

Facebook: ahulalata[-at-]yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar