Selasa, 01 April 2014

Cerpen Derita Anak Jalanan

Derita Anak Jalanan

Pada sebuah malam menjelang Idul fitri. Malam begitu ramai di jalan-jalan kota besar, yang hiruk pikuk dengan kendaraan yang hendak mudik ke kampung halaman. Ada seorang anak laki-laki yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Dan ia tinggal di sebuah gubuk reot, yang ada di kolong jembatan jalan tol bersama adiknya. Untuk menghidupi adiknya yang sedang sakit, tanpa memperdulikan ramainya jalan kota, ia menelusuri jalan untuk menjajakan makanan kecil, yang mana uang tersebut hendak di gunakan untuk membeli makan dan obat untuk sang adik.

“makanan, minuman, siapa yang mau beli,”

Ia tidak memiliki baju yang layak untuk di kenakan, ia hanya mengenakan pakaian yang sudah kumal, dan sudah tidak layak untuk di kenakan. Wajar saja ia tidak mampu untuk membeli. Ia memperoleh pakaian itu dari tempat sampah yang telah di buang oleh orang-orang yang tidak membutuhkanya lagi. Tapi baginya dengan mensyukuri apa yang ia dapat, adalah anugrah terbesar dari yang kuasa.

Sudah 2 jam ia berjalan menjajakan makanan yang ia bawa, tapi tak satupun laku terjual. Ironisnya lagi tak ada seorang pun yang memperdulikanya.

Semua orang sedang sibuk mempersiapkan hari raya idul fitri esok, berkumpul dengan keluarga, membeli baju baru, dan hidangan menu lebaran. Tapi tidak demikian halnya dengan anak yang menjajakan makanan di pinggir jalanan itu. Ia mempunyai banyak makanan kecil yang ada di sebuah keranjang dan tangannya memegang beberapa makanan untuk di tawarkan. Tapi tak ada satupun yang memperdulikanya.

Hari semakin siang, dan ia tak dapat menjual makanan sebungkus pun. Dalam keadaan lelah dan lapar ia terus berjalan. Hingga sejauh 2 km ia terus berjalan dan sampai di sebuah rumah mewah. Ia berhenti dan memandang sejenak kedalam rumah.

Di dalam rumah terlihat semua keluaga berkumpul, canda dan tawa bahagia, baju-baju baru, dan hidangan yang terlihat lezat tersusun rapi dalam meja makanan. nampak seorang ibu dan ayah bermain gembira dengan kedua anaknya. Begitu juga dengan anaknya yang kelihatan sangat bahagia.
Ia melihat salah satu menu favorit adiknya, yaitu opor ayam dan ketupat. Adiknya sangat menyukai makanan itu. Minuman yang berwarna-warni, es buah yang menjadi kesukaanya, dan kebahagiaan yang diperolaeh dari kebersamaan itu. Tapi tidak denganya.

“wah enaknya jadi orang kaya, berkumpul bersama keluaga, dan mempersiapkan keperluan di hari raya” pikir anak malang ini.

Melihat keadaan itu, ia teringat ketika masih berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan nenek. Mereka sangat menyayanginya dan adiknya, tapi mereka semua sudah meninggal. Memikirkan kenangan itu dia merasa sedih dan meneteskan air matanya.

Sambil menangis anak laki-laki itu terus berjalan menelusuri jalan-jalan yang ada di sekitar perumahan mewah, tiba-tiba sebuah mobil lewat dan hampir menabraknya, ia terjatuh dan semua makanan yang ada di keranjang itu jatuh ke dalam selokan yang kotor. Dengan rasa sakit karena ia terjatuh, ia menangis karena teringat adiknya di rumah yang sedang sakit di tinggal sendirian. Apa lagi dia tidak bisa membelikan obat untuk adiknya, karena uang dari hasil jualan makanan keci itu, tidak berhasil ia dapatkan.

Mobil itu melintas dengan cepat, menyemprotkan lumpur di baju kumal anak malang tersebut. Bahkan sandal anak malang ini pun juga putus. Ia berjalan pulang dengan kaki telanjang merasakan panasnya aspal di siang hari tanpa membawa uang sepeserpun.

Di tengah perjalanan pulang, ia melihat sebuah panti asuhan. Disana terlihat anak-anak yang sudah tidak mempunyai orang tua, tetapi mereka juga masih bisa merasakan kebahagian. Ia berfikir sebaiknya ia menitipkan adiknya disana. Tapi di sisi lain ia tidak tega menitipkan adiknya disana, karena hanya adiknyalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tapi itu harus ia lakukan demi kebahagiaan adiknya.

Ia sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Hiangga ia berhenti di depan panti asuhan itu. Nampak seorang ibu pengurus menghampirinya dan menanyainya.

“Nak, kamu kenapa, mari ikut ibu masuk ke dalam”
Anak malang itu menuruti ibu pengurus panti itu. Di berilah ia segelas minuman dingin untuk melepas rasa haus setelah ia berjalan jauh di bawah terik matahari. Anak malang itu bertanya kepada ibu pengurus panti itu.
“bu, saya boleh ndak menitipkan adik saya di sini. Saya tidak mau adik saya menderita karena tinggal bersama saya,”
“memangnya kamu tinggal dimana nak,?”
“saya tinggal di kolong jembatan jalan raya itu bu,”
‘baiklah kalau begitu, kamu boleh menitipkan adik kamu disini, tapi bagaimana dengan dirimu nak?”
“biarlah dengan saya bu, saya tidak apa-apa yang penting adik saya bahagia disini”

Mendengar hal itu anak malang itu merasa sangat senang dengan apa yang ia lakukan. Lalu ia bergegas untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia kembali menangis ketika sang adik meminta sesuatu kepadanya.

“kak, adik ingin baju baru, adik ingin ketupat kak”
“iya adik, kamu akan dapat baju baru, dan kamu bisa makan ketupat dik,”

Hari semakin sore, lalu anak malang itu menggendong adiknya menuju panti asuhan yang akan menjadi rumah baru untuk adiknya. Sesampainya disana, ia meminta satu pertolongan lagi kepada ibu pengurus panti asuhan, agar adiknya bisa dibawa ke dokter karena adiknya sedang sakit. Lantas ibu pengurus panti asuhan dengan senang hati menolongnya. Dengan air mata yang menetes di pipinya anak malang itu pergi tanpa mengucap selamat tinggal pada adiknya.

Kakinya yang sakit membuat anak malang ini jalanya sedikit pincang. Hari sudah mulai malam terdengar suara takbir berkumandang.

ALLAAHU AKBAR 3X LAAAAILAAAHAILLALLAAAHUALLAAAHUAKBAR, ALLAAAHU AKBAR WALILAAA IL’HAM,

hatinya kembali terguncang ketika mengingat dulu masih berkumpul dengan keluarga.
Perutnya yang sudah sangat lapar, haus dan lelah membuatnya terhenti di sebuah tiang lampu jalan. Ia duduk termenung di bawah lampu jalan yang seolah-olah menghangatkan badan di malam yang dingin itu.
Dari kejauhan terlihat orang-orang merasa bahagia di malam hari raya itu, berkumpul bersama keluarga, dan makan makanan lezat yang tersusun rapi di meja makan. Ia melihat ke atas dan ia serasa melihat ibu yang sangat ia rindukan, ia melompat ke pelukan ibunya untuk mengobati rasa rindunya itu.

“Ibu! Tolong bawa saya pergi ibu! Ke tempat yang tidak dingin, dan banyak makanan. Saya tau kalau lampu ini padam, engkau sudah tidak kelihatan, seperti makanan itu, kebersamaan keluarga di hari raya yang indah itu, saya akan kehilangan semuanya”.

Mereka berdua terbang makin lama makin tinggi, terbang ke sebuah tempat yang hangat dan tidak akan merasa kelaparan lagi.

Pada keesokan harinya hari raya idul fitri telah tiba. Dan orang-orang yang selesai menjalankan shalat idul fitri melihat anak malang ini sedang menyandar di tiang lampu jalan. Wajah mungilnya yang terlihat pucat dengan senyuman yang terlihat sangat bahagia. Tetapi ia sudah meninggal, meninggal di malam idul fitri yang penuh kasih sayang dari keluarga ini.

Ia sudah di jemput tuhan dan dibawa ke tempat yang indah. Ia tidak akan kedinginan dan kelaparan lagi. Dan ia akan berbahagia selamanya di tempat itu bersama ayah, ibu, kakek, dan neneknya.

Cerpen Karangan: Dodik Yuhantoro
Facebook: https://www.facebook.com/odix.yohant
Google account : mazdoyu[-at-]gmail.com / Odix Xiau’an Lee

Twitter : @youan_2245

Tidak ada komentar:

Posting Komentar