Selasa, 01 April 2014

Cerpen Tangisan di Tengah Gemuru Desiran Ombak

Tangisan di Tengah Gemuru Desiran Ombak

Bias-bias mega di ujung langit sana semakin keemasan coraknya.
waktupun kian lama memuruk dan makin menipis. Suasana kelabu terlihat mengendap-endap membuntuti di setiap jejakan cakrawala yang tak lagi terbiaskan corak mentarinya, yang nian memupus cahyanya. laksana tertelankan samudra yang terlihat membentang luas dan menguapkan aroma asin yang amat pekat di udara sampai terhendus di ujung hidung. Bau asin pekat itu terus bertebaran ke segala pesisir-pesisir bibir pantai ini, mencorakkan aroma yang khas di tempat aku berdiri saat ini, aroma yang dulu sering ku nikmati dan takkan pernah terlupakan dalam bayangan kenangan lampau lama menghilang. Kenangan yang terus menerus mengambarkan senyuman seseorang yang marum terlihat, bagai sepenggal buah apel yang nampak ranum saat di gigit.

Sepintas mata ini kian terpejam dan menatap tipis, seakan berusaha me-rekah ulang masa indah yang telah lama menjadi ingatan semu dalam batin, dan meraga dalam, sampai ke ufuk jiwa di seberang taman ruh hati ini.

Tatapan mata pun kian lama membening kilap.
Tetesan embun kecil pun perlahan terus memercik halus, searah deruan ombak yang terus menerus menderu dan merayap halus di ujung pasir putih, jauh di bibir pantai sana. Bahkan sampai menyentuh gemulai telapak kaki ku ini.
Bui-bui laut seketika menaungi batasan pikiran, memecah kelemahan batin yang lama ku pupuk di punggung hati ku ini.
“Ah masah-kan aku harus bersedih seperti ini, aku kan sudah berjanji pada kak fian kalau-kalau takkan bersedih lagi, mungkin sekarang ia sedang mencari ku, ah biarlah! Lebih baik ku nikmati saja sisa senja ini, sebelum rembulan dan rangkaian-rangkaian bintang menyapa langit sesudah saat ini”
Perlahan lengan ini menjurus ke kedua belahan mata ku, dan segera menanggalkan embun yang perlahan menjajahi wajah ku ini.

“Ah masih indah ku pandang samudra dari sini, walaupun tanpa gerangan sesosok orang yang amat ku sayangi dan ku cintai lebih dari apapun, tapi sayang kini ia telah menjelma menjadi bintang di langit malam yang akan segera menghampiri ku. Ku kira aku yang akan mendahuluinya menjelma menjadi bintang di langit malam, tapi mengapa? Mengapa Roy yang malah mendahului ku, ku pikir ia yang akan bersedih saat aku berada dalam perkabungan ku.
Ah tapi biarlah kan masih ada fian abang ku yang selalu ada untuk mewarnai umur ku yang kelihatannya tak sepanjang usia orang lain yang amat beruntung”

Kelihatanya alunan kemuningan corak senja tinggal setitik saat ku pandang.
Burung-burung pun mulai ribut di balik cabang-cabang pohon yang rindang di sana, mungkin mereka sedang sibuk memanggil satu dengan yang lain agar bersiap-siap untuk segera terlelap menjelang senja.

“Ah mungkin Fian pun begitu, pasti-kan ia sedang sibuk mencari ku! Uh keterlaluan padahal aku ini kan sudah beranjak dewasa, dan bisa menjaga diri ku sendiri, tapi sial penyakit ku ini membuat ku tak bisa hidup mandiri, bahkan tongkat ini harus ku bawa ke mana-mana untuk menemani dan menjaga ku agar mampu berjalan sendiri, apalah gunanya kedua kaki ku kalau tak bisa di gunakan untuk berjalan”
gumaman kecil terus ku lantunkan dari kedua bibir ku ini, kumudian di hilangkan oleh kerasnya desiran ombak yang terus bergulung-gulung, bersama dedaunan kering, dan beberapa sampah botol mineral.

Tanpa ku rasakan, malam pun segera menyapa, taburan bintang di langit pun kini perlahan mewarnai heningnya langit malam saat ini, meskipun masih di penuhi suara kendaraan yang lalu lalang di jalanan sana.
Deruan ombak pun kian lama kian memderu liar bunyinya, nampaknya laut segera pasang. Angin pun mulai merajarela penuh kedasyatan dari arah barat, tempatnya mentari terbenam.

“Ekheemmm”
Suara batuk, kecil nampak membelah suara alunan ombak yang terdengar oleh ku saat ini, suara itu datang dari arah belakang, tempat ku berdiri.
Aku tak terkejut, melihat sesosok wajah yang selalu muncul saat ku sedang tertegun sedih.
Ia nampak memandang tak acuh pada ku sambil memandangi ponsel miliknya.

“Ah sudah berapa lama kau di sana? Mengapa kak fian tak memberitau ku kalau-kalau sedang duduk di belakang ku!”
Ucapku pada kak fian yang tampaknya telah tercium keberadaannya oleh ku.
Sesaat ia hanya menyetel rambut miliknya yang agak panjang dan pirang itu, kemudian mendekat perlahan ke arah ku sambil memandangi ponsel miliknya. Tangannya kemudian mengusap lembut rambut ku yang nampak acakan di tiup angin malam.
Ia memandang ku dengan senyuman dinginnya yang tersinar ponsel miliknya, senyuman dingin yang selalu ia tunjukan setiap kali bertemu dengan ku.

“Iiiyy! Apaan sih aku kan bukan anak kecil lagi, tak perlu diusap-usap lagi oleh mu!”

“Hahahaha! Biarpun kamu berkata kamu itu sudah dewasa, namun bagi ku kamu itu tetap Dian kecil ku. Adik, yang sampai sekarang harus aku lindungi”

“Ah tidak usah kamu katakan lagi, aku sudah tau! Memang sulit jika tubuh ku ini begitu lemah. Tapi penyakit yang ku derita saat ini juga menurut ku bukan alasan mengapa kamu masih saja memperlakukan ku seperti anak kecil sedari dulu”

Sesaat ia tak menjawab pertanyaan ku, tapi ia malah kembali mengotak atik ponsel miliknya itu.
Tentu hal itu membuat kening ku mengkerut kesal.

“Hey apa kau dengar apa yang ku katakan pada mu? Tuli kah diri mu? hingga kata-kata ku tak juga kau jawab”

“Bukankah kau sendiri yang menyuruh ku begini? Apakah kau sudah lupa, bahwa kau pernah berkata pada ku, jangan pernah aku berubah sama seperti waktu yang terus berputar, dan orang lain yang telah berubah memandang mu”
Ucapnya enteng, pada ku.
Bulir-bulir katanya membuat bibir ku terbungkam tak dapat berkata-kata lagi.

Aku kemudian memalingkan wajah darinya, tatapan ku sayu ke arah samudra, yang kini nampak gelap. Tapi masih bisa ku dengar desiran ombaknya. Aroma asinnyapun masih bisa ku terhirup oleh hidung ku.
Hanya tangisan kecil saja yang terbendung kian lama di balik mata ini, dan tiba-tiba saja kini ambruk dan membanjiri wajah ku.

Sepintas ku kira aku bisa menyembunyikan perasaan ku ini dari abang ku fian, namun nampaknya tak bisa!.
Tanpa ku sadari air mata ku telah di usap oleh jempol milik abang ku fian.

“Maaf! Tapi jangan kira aku menangis, hanya saja mata ku terkena pasir yang di terbangkan angin”
begitu ucap ku, walau ku tau tentunya itu bukan alasan yang mampu menyembunyikan perasaan sedih ku ini.

Aku hanya memandang wajah fian yang sedikit tak jelas karena gelap, tapi nampak terlihat masih tak acuh.

“Aku tau kok! Mana mungkin kamu menangis. Tapi sebaiknya kamu menangislah saja, sebab lain kali kamu takkan sebebas ini tuk bisa menangis, akukan menganggagap mu masih anak-anak yang memang perlu untuk menangis agar merasa puas, dan kembali tertawa”

Saat itu juga suara desiran ombak pun kini bercampur tangisan yang samar dari kejauhan. Tentunya tangisan itu berasal dari diri ku yang kini tersedu dalam pelukan kakak ku fian, dan di temani cahaya rangkaian bintang di langit dan rembulan di malam ini.

Cerpen Karangan: Daniel Satria Sutrisno

Facebook: Daniel Satria Sutrisno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar