Selasa, 01 April 2014

Cerpen Kerudung Hijau Umi

Kerudung Hijau Umi

Allah akbar…
Allah akbar…
Suara adzan subuh menggema di pelosok desa. Sang muadzin tengah melantunkan kalimat-kalimat suci penuh makna. Mataku terbuka dengan perlahan. kepalaku sedikit pusing. Telingaku menangkap suara indah dari kamar umi. Umi tengah membaca kalam illahi. Suara merdunya begitu aktif menebar ketenangan.

Semburat pagi menampakkan dirinya dengan malu-malu. Indahnya bintang telah diganti oleh indahnya pantulan sinar matahari yang mengkilau. Aku tengah mengemasi barang-barang pribadiku. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Cilegon. Aku akan merantau ke kota Baja. Sebelumnya umi tidak mengizinkan aku pergi, namun aku bersikeras ingin pergi. Akhirnya dengan berat hati umi mengizinkan aku pergi merantau.

“Aini… umi harap di perantauan nanti engkau selalu berada dalam lindungan Allah swt. jaga dirimu baik-baik nak.. jangan tergoda dengan kenikmatan dunia yang semu, umi harap kamu mau menerima ini, ini bekal untuk menjaga kesucianmu.” ucap umi sambil menyerahkan kerudung hijau kesayangan umi
“aduh umi… di Cilegon itu panas, kalau aini pake kerudung, wah… bisa-bisa aini mati kepanasan” ucapku sambil menyerahkan kembali kerudung hijau umi
“Aini sayang… walaupun kamu tidak mau memakainya sekarang, umi yakin suatu saat nanti kamu akan membutuhkannya, kamu akan memakainya, maka terimalah sayang, umi mohon..”
Dengan terpaksa kuterima kembali kerudung hijau umi yang tadi sempat aku tolak. Dengan deraian air mata umi melepas kepergianku.

Di kota baja ini, kehidupanku sudah jauh dari Agama. Shalat lima waktu sudah jarang aku dirikan. Zakat sudah tidak pernah kutunaikan. Puasa sudah lama ku tinggalkan dan Al quran hanya menjadi penghias mejaku. dan yang lebih ironis, aku tidak pernah memakai kerudung hijau umi. kubiarkan rambut indahku dinikamti oleh semua orang tanpa rasa malu. Pergaulanku sudah keluar dari koridor syariat Islam.

Sudah hampir dua tahun aku tinggal di kota baja ini. Aku tidak pernah memberi kabar kepada umi. Bahkan, aku tidak memberi tahu dimana alamat kontrakanku sekarang. Ketika hari lebaran tiba, hatiku tergerak untuk pulang. Perasaanku selalu mengajak aku pulang ke kampung halaman. Akhirnya aku berencana pulang setelah dua tahun aku tidak pulang. Pagi-pagi sekali setelah tiga hari dari hari kemenangan, aku pergi mudik untuk pertama kalinya.

Desaku masih indah seperti dulu. Hamparan padi yang hijau membuat sejuk setiap mata yang memandang. Aku telah sampai di depan rumah mungilku. Kulihat pintu rumahku dililit oleh rantai yang berujung pada gembok berukuran sekepal tangan seorang bayi. Kuketuk pintu sambil memanggil umi. Namun tidak ada sahutan sama sekali. Ketika aku tengah dilanda kepanikan karena tidak kutemuai umi, tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya berlari menghampiriku, tubuhnya pendek dan berisi. aku mengenal wanita itu. beliau adalah adik perempuan Abi. ya… beliau adalah bibi maemunah.
“untuk apa kamu pulang Aini? tidak ada gunanya kamu pulang, dasar anak durhaka!!, kau tinggalkan ibumu sendiri, kau lupakan beliau dengan tidak memberi kabar, anak macam apa kau ini..? melupakan begitu saja seorang wanita mulia yang melahirkan dan mendidikmu, dasar anak durhaka, pergi kamu dari sini..!!!” ucap bibi maemunah dengan penuh amarah
“bi… aku berkerja untuk membahagiakan umi. aku bukan anak durhaka bi…” ucapku dengan linangan air mata
“Bah… bukan anak durhaka katamu. enteng sekali kau bicara”
“sekarang umi dimana bi..?”
“umimu telah pergi, beliau telah dipanggil oleh gusti Allah”
“maksud bibi…Umi?!”
“ya… umimu telah meninggal dunia. beliau meninggal pada tanggal 17 Ramadhan. Beliau meninggal di bulan yang penuh barokah. Meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Sebelum beliau menutup matanya untuk terakhir kalinya, beliau sempat berkata pada bibi, “mun.. alangkah senangnya hatiku jika sebelum meninggal aku sempat melihat putri semata wayangku pulang. Melihat kembali wajah cantiknya, bahkan aku membayangkan anakku memakai kerudung hijauku, kerudung hijau pemberian suamiku pasti dia akan terlihat anggun dengan kerudung hijau itu.”

Badanku sudah tidak kuat menyangga tubuhku lagi. Tubuhku ambruk di teras rumah. Aku teringat kerudung hijau pemberian umi. Aku merasa telah menjadi anak durhaka. Bibi maemunah memelukku erat. Beliau mengajakku ke makam umi yang masih basah oleh air hujan tadi malam. Aku sedih melihat gundukan tanah itu. Gundukan tanah yang di dalamnya terdapat jasad umi.
“umi maafkan aini.. Aini sayang umi… aini janji, aini akan menutup kepala aini dengan kerudung hijau umi, semoga umi bahagia di sisi Allah”

Hari-hari yang ku lalui setelah kepergian umi, kurasakan semakin bermakna. Aku berhenti berkerja. Di kampung halamanku ini ku wakafkan diriku. ku pelajari ilmu Agama di pondok Pesantren yang ada di samping rumahku. kurasakan kasih sayang allah begitu besar. Hatiku tentram ketika aku mampu menutup auratku dengan baik. Kutegakkan kembali shalat lima waktu yang menjadi kewajibanku. Kukerjakan puasa baik yang diwajibkan oleh Allah maupun yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hidup berdampingan dengan Al Quran maka hidup akan terasa tentram dan damai. itulah kehidupan yang aku rasakan sekarang. hidup sesuai Al Quran dan As sunah

TAMAT

Sebagai anak yang baik kita harus selalu berbakti kepada kedua orangtua, apalagi kepada ibu. beliau rela mengandung kita selama 9 bulan. membawa kita ke mana-mana. mendidik kita dengan didikan yang sesuai dengan ajaran Syariat Islam
muali sekarang kita harus mampu berbakti kepada kedua orangtua kita.
I LOVE YOU MOM


Cerpen Karangan: Ratu Neneng Nurhasanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar